Banyak
yang tanya kepada saya, “Kenapa sih cari topik buat tesis yang susah?”, “Kenapa
sih ambil tesis yang partisipannya sulit banget?”, “Kenapa sih topiknya berat
banget?” dan kenapa-kenapa lainnya yang rasanya membuat saya kenyang dengan
pertanyaan-pertanyaan dengan macam yang sama.
Berawal
dari 16 Januari 2015 lalu, di perjalanan dalam kereta api, ada seseorang yang
bertanya kepada saya mengenai, “Apa yang jadi concernmu dalam bidang psikologi? Something yang benar-benar membuatmu merasa greget? Hal yang
membuatmu tergugah ketika mendengar itu?”
Hening.
Saya nggak bisa jawab.
“Harus
aku jawab sekarang?” Tanyaku saat itu.
“Ya
harus....kan bentar lagi kamu mau Tesis. Tesis itu masterpiece, sekali seumur
hidup dan itu harus hal yang benar-benar membuatmu merasa geregetan....”
jawabnya.
“Aku
senang ketika ketemu klien dan dia merasa suasana hatinya lebih positif saat
selesai bertemu denganku...” jawabku.
“Iya...ketemu
klien, tapi klien apa? Yang kaya gimana? Permasalahannya apa? Hal yang spesifik
gitu loh yun.....” ia masih mendesakku dengan pertanyaan itu.
“Kalopun
ada, aku nggak harus memastikan itu sekarang dan menjawabnya di depanmu kan?
Udah kaya mau ujian tesis aja...” jawab saya mulai ketus – sebenarnya lebih
karena pertahanan diri saya mulai goyah.
“Ya
harus lah...aku kan pengen tahu....misalkan kaya aku nih, kalo dengar kata
konformis dan eksperimen langsung ada sesuatu rasanya...”
“Udah
ah... wis kamu tidur aja sana, aku nggak mau ngebahas gituan....” ujarku kemudian
membalikkan badan ke arah jendela.
Orang
itu berangsur membalikkan badannya juga, sepertinya memahami perasaan saya yang
mulai terancam. Ia memejamkan mata. Saya hanya menatap nanar ke arah luar
jendela. Mikir.
Momen
itu yang menjadi awal saya berpikir, “Mau ambil judul tesis apa?”. Memang benar
ketika awal pendaftaran saya sudah membuat outline tesis namun ternyata
kenyataan berkata berbeda. Sepertinya outline tesis yang saya buat saat masuk
S2 kemarin tidak feasible untuk
dilakukan, alhasil saya mau nggak mau mengubah rencana.
Seiring
berjalannya waktu, saya menjalani proses yang cukup panjang. Mulai dari
observasi, perenungan , mencari tahu dengan membaca atau bertanya sana sini.
Saya mulai bisa menetapkan apa yang akan menjadi fokus saya untuk tesis. Saya
mantap untuk mengambil tema tentang perempuan. Kenapa perempuan? Karena saya
perempuan, dan saya merasa banyak kaum perempuan yang masih belum seberuntung
saya, sehingga ada keinginan untuk membantu sesama perempuan. Saya tahu ini
masih sangat luas... maka saya kembali mencari tahu topik spesifik apa yang
akan saya ambil. Hasil dari membaca, dan berdiskusi kemudian merenung dan
merefleksi ke dalam diri, saya memutuskan untuk mengambil topik tentang
kekerasan terhadap perempuan khususnya di ranah domestik. Yaitu kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT / domestic violence).
Ada
nilai-nilai yang menurut saya patut untuk dieksplor lebih lanjut mengenai topik
ini. Ada hal-hal personal yang tidak secara langsung saya alami, tapi saya
lihat dengan mata kepala saya sendiri. Ternyata kasus-kasus di PKPP yang saya
tangani beberapa di antaranya adalah tentang kasus KDRT, ini menjadi prior knowledge saya.
Tidak
satu atau dua orang yang bertanya kepada saya, “Duh, susah amat yun cari
masalah... masalah KDRT kan masalah yang privasi banget...”. Tapi judulnya aja
udah “kekerasan” ya, dan itu pasti menimbulkan dampak yang tidak ringan. Entah
itu judulnya di ranah luar atau di ranah domestik, tapi kan tetap judulnya
kekerasan, itu tidak dibenarkan dalam dunia manapun. Hati kecil saya yang
meronta ketika melihat fenomena seperti ini tapi saya nggak bisa turun tangan.
Dengan mengumpulkan keberanian, entah dari arah manapun saya Bismillah memulai
ini semua.
Awalnya
memang stressful, tapi saya menikmati setiap bacaan dan buku tentang topik ini.
Meski tidak semuanya saya ingat dengan pasti, tapi saya cukup nyaman ketika
membicarakan topik ini. Meski ini bukan topik hangat yang selalu muncul di
media, tapi saya merasa berharga ketika bisa berperan dalam program United
Nations untuk mewujudkan Sustainable
Development Goals (SDGs) tahun 2030 nanti.
Saya
berpendapat bahwa masalah tentang perempuan, adalah masalah yang mendasar. Ini
terkait dengan budaya patriarki di bangsa kita, bahwa perempuan itu submisif
dan berada di “bawah” dibandingkan laki-laki. Ya.. sadar nggak sadar saya pun
juga mengalaminya. Tapi saya sungguh beruntung jika dibandingkan dengan
orang-orang yang mengalami KDRT tapi mereka tidak mendapatkan pertolongan
atau dukungan.
Tentu
saja ini tidak terlepas dari peran didikan ibu saya yang mengajarkan bahwa
menjadi perempuan itu haruslah berdaya. Perempuan tidak boleh hanya bergantung
pada pendapatan suami nantinya jika menikah. Ketika kita bisa menghidupi diri
sendiri dengan passion yang kita punya, tanpa harus meninggalkan keluarga dan
restu pasangan nantinya, why not?
So, I challenge my self untuk berani memulai. Tidak hanya dengan omongan, tapi
dengan perbuatan. Tidak hanya dengan teori, tapi dengan praktek. Saya terjun
langsung, mencari sendiri ke akar rumput bagaimana fenomena ini terjadi di kaum
perempuan. Saya pergi ke Unit Pelayanan Terpadu yang bergerak di bidang
perempuan dan anak. Saya tahu ini tidak mudah, saya menjalani proses mencari
saja selama 2 bulan. Diuji kesabarannya, diuji ketahananannya. Ya nangis, ya
marah, ya capek, ya galau... dan Alhamdulillah saat ini saya sudah di tahap
penelitian yang berjalan dengan lancar. Saya memulainya dengan hati yang tulus
untuk membantu sesama. Saya tidak ingin dianggap sebagai orang riya’ apalagi
sombong, karena saya murni ingin membantu perempuan. Satu pesan dari ibu saya
yang tidak pernah saya lupakan, bahwa dimanapun kita berada, terbarkan kebaikan.
Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita semua ke depannya.
Komentar