Apa yang pertama
kali kamu katakan ketika mendengar ada kerabat yang sakit? Misalkan nih, ada
salah seorang teman yang masuk rumah sakit karena sakit tipes.
“Eh, Bunga lagi di
rumah sakit lho. Dia sakit tipes....”
Tanggapanmu pasti
nggak jauh-jauh dari nanyain penyebabnya.
“Kok bisa?”
Baru deh
pertanyaan-pertanyaan lain bergulir.
Saya salah satu
orang yang seringkali nanya seperti itu juga. Dulunya.
Pernah nggak sih
kita tersadar bahwa beberapa perkataan kita itu cenderung men-judge seseorang.
Misalkan kasus teman sakit itu, ada yang bilang, “Ya iya lah...dia kan anaknya
sukanya makan sembarangan... makanya ga dijaga kebersihan makanannya...”
*Nyinyir*
Ya boleh lah
sesekali kita memberikan penilaian, tapi terkadang tanggapan-tanggapan yang
seolah menghakimi itu nggak enak banget didengarnya. Memangnya kamu tahu apa
tentang hidupnya dia? Memangnya kamu berperan apa dalam hidupnya dia?
Kecuali kalau kamu
memang sahabatan dekat banget ga pernah pisah, sodaraan yang selalu tinggal
bareng, baru deh paham gimana kebiasaan orang-orang itu.
Ini nggak cuma di
lingkungan kita. Justru di skala yang lebih besar, seringkali komentar dan
tanggapan yang menghakimi ini mampir di artis-artis. Salah apa coba mereka ke
kamu? Yaa...meskipun memang ada satu dua artis yang perilakunya kurang sopan
atau kurang mencerminkan suri tauladan, tapi nggak seharusnya juga kan kita
menghakiminya secara sepihak.
Kecuali, jika kamu
sudah melakukan pemeriksaan secara mendalam terhadap sosok tersebut. Baru deh
boleh menyimpulkan. Ibaratnya orang penelitian, sebelumnya harus ada latar
belakang, teori, metode, baru deh hasilnya seperti apa.
Sadar nggak sadar,
banyak dari generasi kita yang suka “nyinyir” dengan orang lain yang ada di
sekitarnya. Kalau mau mengungkapkan sesuatu, rasanya nggak pake dipikir gitu,
langsung aja diomongin. Yaa...di satu sisi memang ada baiknya sih karena
mengungkapkan sesuatu secara spontan. Tapi di sisi lain, dampaknya alias
efeknya itu loh yang bikin nggak enak orang yang mendapat tanggapan.
Apalagi sekarang
dengan adanya media sosial, semakin bebaslah kita untuk berkomentar dengan gaya
yang nyinyirisme. Walau memang nggak semua orang kaya gitu, tapi mudah kita
temui komentar-komentar nyinyir saat ini di media sosial manapun. Antara gundah
gulana, tapi kadang lucu juga. Kok ya bisa-bisanya kepikiran komentar kaya
gitu... diungkapkan lagi.
Ahh... memang
jamannya sudah berbeda. Dikala saya yang model orang yang kaya begini dibilang
kurang asertif tapi kalau nyinyir begitu, bisa dikatakan agresif nggak sih?
Karena dia mengungkapkan sesuatu ke orang lain secara “kasar”, tanpa ia sadari
pula. Sedih dengernya.
Sehingga muncullah
ide, beberapa waktu terakhir ini saya mencoba mendetoks diri dengan cara
menjauhkan diri dari pengaruh-pengaruh negatif orang-orang nyinyir dengan cara
ga main media sosial. Awalnya memang susah, tapi lama-lama enak juga. Sehari
nggak pegang handphone dan nggak ngurusin media sosial, hidup rasanya jauh
lebih tenteram. Saya nggak perlu tahu juga tentang apa yang terjadi hari ini
pada orang lain di media sosial. Terhindar dari pandangan mata yang tertuju
pada komentar-komentar nyinyir, ternyata bisa bikin hati jauh lebih damai.
Bagaimanapun juga,
memang eranya generasi sekarang ya kaya gini. Tinggal gimana kita menyikapinya.
Kalau katanya Eyang Victor Frankl, sesuatu itu seburuk apapun terjadinya,
tinggal bagaimana kita menyikapinya. Nice quote, Eyang.
Komentar