What we get from Kartini movie


Tanggal 28 April kemarin, saya dan adik janjian buat nonton sebuah film yang spesial banget, yaitu film Kartini. Kenapa spesial? Karena film Kartini mengingatkan kami sama ibu kami yang merupakan Kartini sejati versi kami. Ibu saya memang dilahirkan di tanggal yang sama dengan Kartini, yaitu 21 April.

Setelah kami ingat-ingat ternyata ini kali kedua kami nonton bareng di Jogja. Sebelumnya kami pernah nonton film Jerman, itu udah tahun 2014 banget alias udah 3 tahun yang lalu. Langsung aja deh cerita filmnya ya.. kayanya masih ada beberapa bioskop yang menayangkan. Kami nonton di Lippo Mall Yogya. Penontonnya cukup banyak, itu satu gedung hanya tersisa beberapa bangku saja di depan. Lainnya, penuh... dan didominasi perempuan, dari usia muda belia mahasiswa hingga ibu-ibu. Sepertinya efek pemain utamanya yang kena hujat di media sosial nggak ngaruh-ngaruh amat bagi penonton yang penasaran sama film Kartini ini.

Film ini diawali dari kisah Kartini masa kecil yang sudah termasuk anak “pembangkang”. Ia tidak mau diperlakukan sebagai “Raden Ayu” layaknya putri-putri lainnya di wilayah Kabupaten Jepara. Sebenarnya Kartini yang biasa dipanggil “Ni” atau “Trinil” ini adalah anak seorang “rewang” dan ia tidak diperbolehkan memanggil ibunya dengan sebutan “ibu” melainkan “Yu.” Miris? Iya memang. Saking patuhnya dengan tradisi keduluan. Menginjak dewasa, ia harus dipingit di rumah depan yang merupakan tempat pingitan bagi para calon Raden Ayu. Ia harus mengikuti berbagai tata cara Jawa seperti jalan sambil membungkuk, belajar keputrian, merawat diri dengan berbagai kosmetika tradisional Jawa. Tapi beruntungnya Kartini, ia mempunyai seorang kakak yang mengenalkannya pada dunia luar dengan memberinya buku-buku berbahasa Belanda. Kakaknya Kartini ini pergi ke Belanda dan selalu mengirimkan buku-buku yang kemudian menginspirasi Kartini untuk berani menulis. Ia mengenal sosok-sosok hebat di belahan dunia lain terutama sosok perempuan yang sangat berbeda dengan yang dialaminya saat ini. Nah disini nih letak perbedaan Kartini dengan perempuan lainnya, ia sungguh beruntung bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat yang lebih tinggi. Ia bisa membaca dan mengerti bahasa Belanda sehingga nggak sulit baginya memahami buku berbahasa Belanda.

Bapak dari Kartini adalah seorang bupati, jadi beliau memiliki banyak kenalan termasuk dari petinggi Belanda di wilayah Jawa Tengah. Kemudian Kartini dikenalkan dengan istri dari pejabat tersebut, ia membaca tulisan Kartini dan mengundangnya ke sebuah acara yang berisi pejabat-pejabat di seluruh wilayah Jawa Tengah. Nah, tapi Kartini nggak sendiri. Ia bersama dengan kedua adiknya yang cerdas perlahan-lahan meyakinkan bapak mereka untuk membuat perubahan. Beberapa di antaranya adalah memberikan pelajaran membaca dan menulis kepada kaum perempuan di lingkungan mereka, kemudian mengenalkan ukiran Jepara ke mancanegara. Tentu ini memberikan dampak sosial ekonomi yang positif bagi daerah Jepara. Namun hal ini tidak semerta merta langsung diterima begitu saja oleh para petinggi di Jawa Tengah, mereka memprotes bapak dari Kartini karena membiarkan anak perempuannya menjadi “liar” dan dikhawatirkan lama kelamaan akan mengambil alih kekuasaan yang dari jaman dulu selalu diduduki oleh laki-laki.

Konflik-konflik pun muncul, seperti kakak Kartini yang dinikahi oleh salah seorang petinggi tapi dijadikan sebagai istri kedua. Kemudian konflik antara ibu tiri Kartini yang tidak setuju dengan perilaku progresif Kartini, sehingga mengurungnya di kamar dan dipisahkan dari kedua adiknya. Kartini diajak oleh ibu kandungnya ke sebuah kolam dan mereka berdialog dari hati ke hati. Pas adegan ini, saya dengar kanan kiri saya pada sesenggukan menangis karena terharu. Tapi entah kenapa, saya nggak sampe menangis meskipun adegannya memang sangat menyentuh. Hingga akhir cerita ditutup dengan keinginan Kartini untuk mengajukan beasiswa bersekolah di Belanda namun waktu menunggu pengumuman ia ternyata menikah dengan seorang bupati dari Rembang (kalo ga salah) yang diperankan oleh Dwi Sasono. Eh baru deh pengumumannya keluar, akhirnya Kartini nggak jadi berangkat ke Belanda. Beasiswa itu pun digantikan oleh H. Agus Salim. Selesai...



Overall, menurut saya film ini cukup menggambarkan kondisi jaman dulu yang begitu submisif terhadap perempuan. Dari segi afeksi juga cukup menyentuh. Meski ada beberapa hal teknis yang agak “mengganggu” seperti riasan wajah pemeran utama yang terkesan lebih tua dari usia Kartini pada masa itu yang masih antara 17 – 25 tahun. Jadi agak ga seimbang aja sama kedua adiknya yang masih unyu-unyu. Untuk efek suara, keren... meski lagu soundtrack yang saya tunggu berjudul “Memang kenapa bila aku perempuan” munculnya cuma 2 kali selama di dalam film. Di akhir film saya berasa agak susah buat “nginjak” bumi lagi karena masih terlarut dalam film ini. Film ini memberikan pesan kuat bahwa perempuan itu bisa banget melakukan perubahan, terutama dengan pena-nya. Maka dari itu, pepatah yang mengatakan “Pena itu lebih tajam dari pedang” benar adanya.

Memasuki bulan Ramadhan nih...selamat menunaikan ibadah puasa ya teman-teman... semoga Allah memudahkan ibadah-ibadah yang kita laksanakan dan semoga diberi kelancaran mencapai ridho-Nya... Aamiin ya robbal alamin.

Komentar