Alhamdulillah sudah
melewati tahap seminar hasil, selangkah lagi ujian tesis yang merupakan tahap
terakhir ujian di Mapro. Rasanya antara percaya nggak percaya, sebentar lagi
resmi dan sah menjadi magister psikologi. Mimpi besar yang dicita-citakan sejak
SMA, tinggal satu tahap lagi bisa merasakannya. Masya Allah...
Alhamdulillahirobbil alamin tiada henti.
Kalau ditanya apa
perasaan yang paling menggambarkan? Senang, excited,
emosi positif yang bikin kupu-kupu di dalam perut terasa berputar. At least, saya bisa membuktikan kepada
diri sendiri bahwa saya bisa mencapai fase ini.
Lalu apa selanjutnya
setelah lulus S2?
Rencana tentang
pekerjaan tentunya karena sudah bergelar psikolog, tapi ternyata bukan ini
satu-satunya yang saya inginkan. Selama S2 saya berproses, bahwa kebermanfaatan
terhadap sesama adalah hal yang paling penting. Selama menjadi mahasiswa hampir
3 tahun kemarin, tidak hanya proses dalam bidang akademik yang saya dapatkan
namun juga proses dalam kehidupan. Menghadapi berbagai permasalahan dari
klien-klien yang membuat saya belajar, merenung, merekonstruksi kembali
impian-impian yang pernah dicanangkan. Hidup itu memang penuh dengan masalah,
penuh dengan stressor, penuh dengan tantangan. That’s life. Kalau mau nggak ada masalah, itu artinya hidup
selesai.
Dalam Mapro saya
juga belajar bahwa sepelik apapun masalah kita, kita bisa menyikapinya dengan
positif. Menerima perasaan-perasaan yang membuat tidak nyaman, melihat masalah
dari berbagai sudut pandang, menyelesaikannya setahap demi setahap hingga
tercapai resolusi tersebut. Tidak saya sadari, ternyata ini berefek cukup
banyak dalam hidup saya. Menurut beberapa orang yang ada di sekitar saya,
semenjak S2 saya menjadi lebih sabar, lebih tenang dan lebih kalem menghadapi
berbagai situasi. Kalau dulu saya cenderung terburu-buru, sekarang jadi lebih
hati-hati dan lebih nggak reaktif sama suatu hal. Hal ini membuat saya menjadi
lebih tenang memang, tapi di sisi lain saya jadi lebih perasa dan mikirnya
kelamaan.
Kehidupan selama S2
juga membuat saya menjadi lebih mandiri, bisa melakukan segala sesuatunya tanpa
harus dibantu orang lain. Saya sadar memang tidak selamanya kita berada di
kondisi yang bisa mengandalkan orang, selain diri sendiri. Saya juga sekarang
lebih menghargai waktu karena selama di Mapro seringkali banyak hal tidak
terduga terjadi. Mulai dari pas awal-awal kuliah, jadwal yang suka berubah-ubah
hingga pernah ujian praktik sampe malem sama klien. Berbagai kondisi yang
menuntut untuk bergerak cepat, spontan, tapi tepat. Mengalami kejadian dari
permasalahan eksternal dalam lingkup orang sekitar, hingga quarter life crisis dalam diri yang harus segera dijawab.
Semua itu ternyata
bisa saya lewati. Saya sangat-sangat bersyukur kepada Allah yang telah
memberikan kesempatan atas hidup selama di Yogyakarta ini.
Pengalaman-pengalaman tadi menjadi bekal saya untuk bisa berkontribusi lebih
pada siapapun yang ada di depan saya. Saya tidak mau membatasi diri untuk
berkarir “hanya” di bidang psikologi. Sejauh ini saya masih membuka diri
terhadap berbagai kesempatan. Saya tetap akan menulis, karena ini adalah satu passion dalam hidup saya. Saya juga akan
terus senang bertemu dengan orang-orang baru dan bertukar pikiran. Saya akan
tetap senang dengan kegiatan literasi dimana saya bisa membaca – menulis –
berdiskusi – berbagi dengan siapapun itu. Entah ke depan saya mau berkegiatan
apa, yang jelas masih berkaitan dengan hal-hal tersebut.
Saya sudah cukup
menemukan makna dan tujuan hidup saya saat ini, meski itu akan terus berubah
dari waktu ke waktu. Saya akan tetap belajar hal-hal baru, seperti memasak,
main gitar, meneruskan kursus bahasa Inggris dan Jerman, olahraga seperti yoga
dan aikido yang sudah sempat dimulai, menulis buku, menulis kolom psikologi di media
massa, gabung organisasi sosial kerelawanan, bikin suatu karya kreatif dan
tentunya menambah kapasitas diri dalam agama dengan belajar lagi tentang Hadits
dan Tafsir Al-Qur’an.
Sampai detik ini,
kegiatan-kegiatan di atas tadi yang terbersit di pikiran. Operasionalnya
seperti apa, kita lihat nanti. Yang jelas, saya akan kembali ke kota kelahiran
di Surabaya, menemani ibu dan bapak di rumah. Saya sudah 8 tahun merantau dari
Surabaya, sudah saatnya kembali dan berbakti lebih kepada kedua orangtua. Saya
tahu, dimanapun saya berada bakal bisa berkontribusi untuk sekitar. Besar
ataupun kecil dampaknya, bukan itu intinya. Saat kita bisa menginspirasi dan bisa
membuat suasana hati orang lain menjadi lebih terang dari sebelumnya, itu sudah
membuat saya berarti. Apalagi ini dilakukan kepada kedua orangtua dan keluarga,
jauh lebih barokah.
Momen kuliah di
Jogja telah memberi saya pelajaran tentang “life
is not a racing, don’t compare it.” Kalau mau balapan, ya di arena balap.
Tapi balapannya dalam hal apa dulu? Kalau balapan untuk kebaikan, itu memang
perintah dari Allah, ingat ayat “Fastabikul
khayrat” – berlomba-lombalah dalam kebaikan. Sedangkan yang saya maksud
disini adalah kadangkala kita terjebak dengan membandingkan hidup dengan orang
lain. Misalkan temen SMP si A udah kerja di perusahaan X jadi Manajer, temen
SMA si B udah punya anak tiga, temen Kuliah si C udah lulus doktoral di luar
negeri. Memang sih rasa “Rumput tetangga terlihat lebih hijau” itu tiba-tiba
muncul. Tapi sekali lagi, kita nggak tahu betapa keras perjuangan mereka,
barangkali mereka punya masalah yang jauh lebih besar dari kita sekarang.
Kemudian waktu ketemu eh malah dia yang merasa ngiri sama kita. Who knows? Jadi, saya sekarang memahami
bahwa hidup itu nggak buat dibandingin, dibuat balapan, every one have their own perfect time.
Last but not least, mohon doanya ya untuk ujian tesis saya sebentar lagi, kemungkinan
besar minggu depan. Semoga lancar dan mendapatkan hasil seperti yang
diharapkan. Aamiin ya robbal alamin.
Komentar