Ask my self. Ilmu dan gelarmu, bermanfaatkah?



Menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan dan diberikan hak untuk menyandang gelar merupakan suatu kehormatan tersendiri. Saya jadi teringat ada beberapa orang yang usianya jauh lebih tua bilang gini ke saya yang waktu itu masih bau kencur berseragam putih biru, “Orang sekolah tinggi-tinggi itu cuma buat dapet selembar kertas namanya ijazah. Wis ora usah sekolah dhuwur-dhuwur... mung kertas wae dikejar...”
Saat itu saya cuma mengangguk-angguk mengiyakan, padahal sebenarnya dalam hati, “Emang iya? Kok sedih banget perjuangan bertahun-tahun demi selembar kertas..”
Saya garis bawahi lagi, tidak hanya satu orang yang bicara seperti itu, ada beberapa orang. Mereka memandang bahwa mencari ilmu tidak lebih dari memanen hasil akhir berupa selembar kertas tersebut.
Awalnya saya mengamini perkataan-perkataan mereka. Toh, mereka lebih senior daripada saya dan sudah tahu asam manis kehidupan. Ketika itu masalah terberat saya hanyalah mata pelajaran matematika dan fisika yang seringkali ikut remidi di kelas. Saya pun terjebak dalam pemikiran pendek bahwa aku ingin lulus dan aku dapat ijazah, kemudian sudah selesai.
_________________________________________________
Usia memang bisa menjawab, ketika berbagai peran bertambah dalam hidup, saya mulai menyadari. Bahwa sekolah setinggi-tingginya, bukanlah hanya demi mengejar selembar kertas ijazah. Bukan... esensinya jauh lebih dalam dari itu.
Tholabul ilmi, adalah sebuah ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT. Anugerah yang diberikan Allah kepada manusia bermacam-macam. Ada yang diberi anugerah harta, kepandaian, menguasai ilmu, ketampanan dan kecantikan fisik, kehormatan jabatan hingga status sosial yang tinggi.
Kali ini saya sungguh-sungguh merasa beruntung lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan. Ibu dan bapak selalu mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya agar bisa sekolah setinggi-tingginya. Banyak orang yang mengatakan bahwa kami keluarga yang aneh, kutu buku, karena seisi rumah penuh dengan buku bertebaran dimana-mana. Kami cuma menjawab dengan senyuman. Tiap keluarga punya kesenangan yang berbeda-beda bukan?
Ada juga yang bertanya, mengapa rela melepas kedua anak perempuannya sekolah di tempat yang jauh? Bukankah di Surabaya juga banyak universitas yang bagus?
Nilai di keluarga kami sekali lagi berbeda dengan si penanya, bahwa Hadist “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina,” itu benar adanya. Kalau belum bisa ke negeri Cina, ya ke Yogyakarta dulu sekaligus mencari bekal kehidupan di tanah rantau. Siapa tahu kami nantinya bisa benar-benar sekolah ke Cina atau lebih jauh lagi, ke Timur Tengah atau Eropa.

Sependapat dengan berbagai ahli bahwa ilmu adalah pemberian Allah yang sangat utama melebihi keutamaan dunia dan seisinya. Berbahagialah mereka yang dimudahkan dalam mempelajari ilmu. Allah berfirman dalam QS Al Mujadilah:11 bahwa, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Dengan ilmu, orang dapat mengetahui banyak hal, lebih bijaksana dan pandangannya terbuka lebar. Ia akan menjalani hidup dengan mudah, terang dan senang karena mengetahui banyak hal. Karena ilmu itu layaknya sebuah cahaya yang menerangi dan mengarahkan jalan kehidupan.

Sejatinya, ilmu sendiri adalah suatu kekayaan. Kekayaan itu bukan hanya berupa fisik dan materi yang terlihat mata. Kekayaan itu adalah apa yang dimanfaatkan di jalan Allah, yaitu ilmu yang didapatkan. Apabila ditanya sejauh mana kita mengamalkan ilmu yang didapatkan? Minimal kepada diri sendiri, dengan ilmu yang dimiliki kita menjadi lebih taat kepada Allah, menjauhkan diri dari larangan-larangan-Nya dan mendekatkan diri kepada segala perintah-Nya.

Lantas, sekolah tinggi untuk apa? Tentu untuk mencari ilmu kepunyaan Allah yang sedikit diberikan kepada makhluk-Nya. Kalau ilmu tidak dicari, bagaimana kita bisa mendapatkannya? Ketika kita sudah dapat ilmu itu, kita termasuk dalam orang-orang terpilih yang berbeda dengan orang-orang lainnya. Maka, Allah menurunkan firman-Nya dalam QS Az-Zumar:9 bahwa, “Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya, hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” Menjadi berilmu adalah menjadi berbeda, maka menjadi orang yang bergelar tentu saja secara tidak langsung berbeda dengan yang tidak bergelar.

Namun perlu digarisbawahi bahwa menjadi berilmu dan bergelar adalah hal yang berbeda. Orang yang bergelar, bisa saja tidak berilmu. Namun orang yang berilmu ia pasti bergelar, yaitu bergelar menjadi orang pilihan di mata Allah. Kalau sudah begini, maka tidak ada alasan bagi kita yang sudah diberi nikmat ilmu agar senantiasa mengamalkan serta memberikan manfaat ilmu yang didapatkan. Ilmu yang sudah didapatkan tidak lantas menjadikan jumawa, karena sebenarnya ini semua hanyalah titipan. Lagipula, apa yang diperoleh ini hanyalah setetes kecil dari ilmu Allah yang luasnya seluas samudera tanpa batas. Maka, buat apa menjadi sombong menjadi manusia? Apalagi merasa paling pandai? Justru orang yang berilmu itu orang yang merasa masih bodoh karena ternyata masih sangat banyak yang belum diketahuinya.

Semoga dan semoga proses mencari ilmu selama hampir 6 semester di Yogyakarta ini menjadi awal  untuk bisa memberi manfaat yang lebih luas kepada orang lain. Karena "Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi sekitarnya," sabda Rasulullah SAW. Semoga kita semua selalu diteguhkan niatnya untuk terus belajar, terus memberikan karya baik bagi nusa bangsa dan agama, terus menjadi manusia yang selalu rendah hati atas apapun pemberian dari-Nya. Aamiin ya robbal alamin... 
___________________________________________________________

 “Pelajarilah ilmu. Sebab, dengan ilmu akan menimbulkan rasa takut kepada Allah. Mempelajari ilmu pengetahuan termasuk ibadah. Menelaahnya dianggap membaca tasbih. Membahasnya setara dengan takbir. Mengajarkannya kepada orang yang bodoh dihitung sedekah dan mendiskusikan kepada para pakar dianggap sebagai suatu bentuk kedekatan kepada Allah” – Muadz bin Jabal-
____________________________________________________________

Acknowledgement utama untuk Allah SWT yang tidak pernah ingkar janji, bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha, yang Maha Memampukan, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Pembimbing sekaligus bapak selama di Yogya yaitu Pak Prof N, ibu sekaligus penenang di kala sendu yaitu Bu Prof K, dan bapak berhati lembut Pak H.
Kedua orangtua yang selalu mendukung mimpi anaknya hingga detik saya bisa berdiri di tengah altar fakultas ini.
Adik Tita yang menjadi saksi malam-malam panjang tanpa tidur dan playlist melankolis di laptop.
Beberapa lainnya yang nggak muat saya sebutkan di kata pengantar Tesis, saya sebutkan disini aja ya...

  • Psikolog di instansi penelitian, Bu H dan Bu T yang selalu memberikan waktunya bahkan ketika beliau sedang sibuk untuk membantu saya.
  • Pertemanan rasa saudara UB Akhirnya UGM, yang menjadi support system paling bisa diandalkan; Isti yang jadi teman berproses dalam berbagai kejadian senang, sedih, sakit, galau, cemas, thankiis ya Ti. Fiqih yang tetap selalu ada membersamai di samping, belakang, bahkan depan saya selama 8 tahun ini, kamu sangar. Mbak Nia yang selalu on fire dan berintegritas dalam melakukan segala aktivitasnya. Mbak Yanti yang menjadi tempat bercerita dan berbagi tentang kehidupan akademik maupun non akademik. Dek Vonny, Kak Dini, Kak Amel, Kak Fia, Dhia, Vega, Hani, Jeje, dan Mbak Caca terima kasih atas senyum dan pelukan hangatnya.
  • Persaudaraan yang terjalin di dalam kelas maupun di luar kelas Mapro Klinis XI, nggak tahu mau ngomong apa lagi tentang 33 orang keren di kelas ini. Bakal ada lapak lain yang ngebahas satu per satu dari 33 orang ini. 
  • Entahlah ini suatu hal yang sangat kebetulan, saya barengan sama sahabat sekaligus sodara di kelas bernama Winda waktu ujian ini. Winda ujian HIMPSI, sedangkan saya ujian tesis, memang kayanya kami nih jodoh ya... sering banget kaya gini sama mama satu anak ini. Buat Feny yang udah kaya adik sendiri, makasih loh krucil...ente udah jauh-jauh bawain buku ‘Qurotul ‘Uyun’ dari Bantul buat ane.
  • Teman-teman sebimbingan Pak Prof N; Indah, Nina, Kelly, Fenny, mbak Bibah, mbak Lintang dan Bu Hasni. 
  • Groupis Lelah Hati yang selalu siap mendengarkan apapun celotehan alay dan ajaib dari saya kapanpun dimanapun; Pritha Pipit, Om Fiqih, Bang Nusa, Putu Nenek, Pandu Punda, Hesti Soy. Kalian itu ibarat kasur tempatku melepas lelah. Eaaa apa sih.. 
  • Kawan-kawan yang sudah membantu kelancaran proses penelitian, tim “meaning of life” – Psikolog kece dan jago aikido, mbak Ulfah pecinta go green. Juga 2 orang yang berproses bersama dalam memahami logoterapi, Irga dan Uni Tia.
  • Kakak-kakak yang mengenalkan saya akan Jogja: Bu Intan, Mas Pura dan Bunda Dian.
  • Teman sebelah kamar kost yang jadi partner dalam kelangsungan logistik penelitian, Devi. 
  • Ustadz-ustadz yang sangat menginspirasi di lingkungan Masjid Nurul Ashri Deresan atas pelajaran dan ilmu yang dibagikan. Semangat berhijrah!
  • Last but not least, persahabatan selama 11 tahun; Vivi, Ata chan, Abang Kembar, dan Dafi Penyu yang selalu standby menemani ketika saya pulang ke Surabaya.


A gallery to remember about moment 13 Juni 2017 

para suporter dari kelas :)

bersama Yth. pembimbing dan penguji

Selamat Winda, Psikolog

Geng Malang - Yogyakarta

formasinya kurang satu orang lagi nih harusnya..

Bingkisan yang bikin takjub dari mereka-mereka yang tersayang

More than words than Alhamdulillahirobbil alamin

teman seperjalanan

percakapan absurd di antara krucil-krucil

partner makan, belanja, ngegalau, tapi juga tetep harus rajin ke Masjid ya ti..
 
 Jadi, Aamiin-in aja ya buat selempangnya itu ya... :) 

Komentar