Tanggal 6 Juni 2017
kemarin diperingati sebagai hari kelahiran Presiden RI pertama, Ir. Soekarno,
tapi juga penyanyi yang lagi hits dan membuat patah hati banyak cowok, Raisa.
Tapi 2 momen itu nggak ngaruh buat mahasiswa biasa macam saya, ada momen
membahagiakan lain yang jauh lebih membuat hati berdebar.
Seseorang yang
perannya bisa dibilang sebagai teman, sahabat, kakak, ibu, partner, dan dosen
bagi saya, tanggal 6 Juni kemarin berhasil mempertahankan disertasinya di
hadapan para penguji. Masya Allah... gelar Doktor dalam ilmu psikologi sosial
berhak disandangnya.
Saya mengenal
sosoknya yang rendah hati ini sejak tahun 2009 saat kuliah S1. Beliau adalah
dosen mata kuliah psikologi sosial 2. Duluuu sekali saya menganggap beliau
termasuk jajaran dosen killer, karena
saat itu saya pernah dimarahi olehnya hingga menangis di depan teman-teman.
Mungkin beliau juga udah nggak ingat. Tapi, momen itu menjadi momen paling
mengena tentang proses perkenalan pertama kami. Penyebabnya? karena beliau yang
suka mengajak mahasiswanya ke “lapangan” untuk belajar kondisi sosial secara
langsung. Saya meminta ijin padanya kalau saya tidak bisa ikut kuliah lapangan
tersebut karena bertepatan dengan acara besar di organisasi yang di dalamnya
saya sebagai sekretaris pelaksana. Beliau langsung menjawab dengan jawaban yang
menurut saya ketus, “Ya kamu lebih pilih mana, kuliah apa organisasi?
Seharusnya sebagai mahasiswa ya tau lah mana prioritasnya...” Jleb! Masalahnya acara
yang bersamaan itu berlangsung di hari Sabtu, dan itu bukan jadwal kuliah. Saya
tetap bersikukuh memberi surat ijin, karena ini acara sudah diseting sejak 4
bulan yang lalu, sedangkan kuliah lapangan baru diberitahu seminggu sebelumnya.
Beralih hingga
tahun-tahun berikutnya, justru dari “perkenalan” tersebut saya lebih perhatian
kepada beliau. Yang awalnya nggak senang dengan gaya bicaranya, lama kelamaan
saya tahu bahwa itu memang style
bicaranya. Meski saya nggak dapat nilai sempurna di mata kuliah yang diampunya,
tapi saya senang bisa ada di kelasnya yang membuat saya semakin kaya akan
pengalaman di lapangan, terutama untuk mata kuliah metode penelitian
kualitatif. Saat kuliah pun beliau termasuk dosen yang sangat jelas dalam
menerangkan, sehingga saya sering memilih duduk di bangku depan agar bisa
mendengar lebih jelas.
Tahun 2013, saya
lulus dari S1. Hubungan kami ya selayaknya dosen dan mahasiswa. Interaksi kami
pun selayaknya dosen dan mahasiswa, meski memang beliau sering “main” ke Lab
Psikologi, tempat saya dan para aslab lain “nongkrong.” Hingga pada suatu hari
setelah saya selesai sidang skripsi, beliau tiba-tiba sms saya. Itu adalah sms
pertama beliau yang bernada serius, karena sebelum-sebelumnya beliau sms ke
saya buat beli pulsa. Sms itu mengatakan kalau beliau ingin bertemu di suatu
tempat dan membahas hal yang penting. Tentu saya penasaran dong, apa coba?
Saya ingat pertama
kali bertemu secara informal di “Mie Tomcat” Jl. Soekarno Hatta Malang.
Pertemuan itu yang akhirnya membuka mata dan telinga saya lebih lebar
tentangnya. Percakapan selama berjam-jam rasanya seperti hanya 30 menit, hingga
ngga kerasa kami pesan makanan beberapa kali. Di momen itulah, saya tahu bahwa
kami satu frekuensi. Tahun 2013 itulah ia kembali ke Jogja, untuk berangkat studi
S3. Sedangkan saya? Kembali ke Surabaya.
Sepanjang tahun 2013
itu intensitas komunikasi kami lebih sering. Hingga saya mendapatkan sebuah
pekerjaan yang membuat saya kenal dengan banyak sahabat baru juga dari beliau.
Iya, sebagai bagian dari tim peneliti lembaga penelitian di Jakarta. Pun, saya
berangkat ke Jogja beberapa kali bersamanya untuk menelusuri jejak rumah Dome
tahan gempa di Kalasan. Mengenali kondisi masyarakat disana, dan bagaimana
sebuah hunian dapat memberikan rasa sejahtera kepada penghuninya.
Pada tahun 2014 saya
pergi ke Jogja untuk mendaftar S2. Satu-satunya universitas yang saya daftar
ini Alhamdulillah rejeki saya. Bala bantuan dari orang satu ini juga nggak
habis, beliau memang orang yang bisa diandalkan. Yang mengenalkan saya kepada
jalanan Jogja dan tempat-tempat makan enak, teman-teman di lingkungan psikologi
yang super ramah, hingga memberi gambaran tentang perkuliahan nantinya. Jarak
fisik yang kian dekat membuat ikatan emosi kami juga dekat. Meski pada proses
perkuliahan kemarin saya tidak banyak melibatkan beliau, karena memang bidang
kami berbeda. Tapi kami sama-sama berproses, dalam intelektual maupun dalam
kehidupan. Penelitian yang berawal di rumah Dome itu, kemudian bergeser menjadi
di Rumah susun sewa sederhana (Rusunawa). Saya yang memang nggak jago di
penelitian kualitatif, menyangga sedikit dari sisi lainnya, kuantitatif. Saya
jadi saksi malam-malam panjangnya tanpa terpejam untuk menyelesaikan naskah
setebal hampir 500 halaman tersebut. Dinding kamar yang penuh tempelan bagan
penelitian, hingga tumpukan jurnal dan buku berbahasa Inggris yang sudah tidak
tahu lagi jumlahnya berapa banyak.
Terlalu banyak
cerita yang bisa dituangkan sehingga kami hanya bisa sama-sama tertawa lepas
setiap memulai pembicaraan. Mulai senang, susah, lucu, aneh, unik, deg-degan,
nano-nano rasanya pernah kami dirasakan. Sampai pada bulan lalu dimana ia
mendapatkan musibah yang kami semua tidak akan kuasa mencegah kehendak-Nya.
Rasa pilu bagai dihunus sembilu itu perlahan bisa berubah menjadi keceriaan
kembali. Hingga pada minggu lalu ia bilang, “Yuuuun...aku mau ujian tertutup
Selasa depan!” Alhamdulillahhhh.... can’t
describe rasanya gimana. Finally ya Allah... dari yang mulai awal beliau
selalu bilang, “Duh Yuuuun ujian kok sampe 7 kali itu ngapain ae coba?” hingga berhasil
melewatinya setahap demi setahap. Pelukan super hangat dan bisikan kata-kata
super yang akhirnya menjadi hadiah.
Saya bersyukur bisa
berproses bersama beliau. Bisa mengenal banyak orang yang ada di sekelilingnya,
adalah sebuah blessing bagi saya.
Menyaksikan perjuangannya dari awal mulai studi hingga selangkah lagi menuju
ujian terbuka, menjadi satu pengalaman tak terlupakan. Dari mulai meraba konsep
housing wellbeing hingga akhirnya
beliau menelurkan konsep “pomah” individu
dalam menghuni tempat tinggalnya. Proses yang disertai kearifan lokal penuh
perjuangan luar biasa untuk mendapatkan hasil final konsep tersebut. Itu proses yang sangat panjang dan patut dihargai
dengan maksimal. Apalagi menjadi orang pertama di angkatan yang berhasil
melewati tahap hingga akhir. Benar-benar luar biasaaa!
Proficiat ya mbak...
eh buk... Sekarang udah Doktor, mohon dikurang-kurangin kebiasaan-kebiasaan
anehnya. Hehe.. bercanda..
Semoga ilmunya
berkah dan bermanfaat bagi banyak orang, Ramadhan membawa berkah yang tak
berkesudahan memang ya.. Semoga lancar untuk tahap hidup selanjutnya, Aamiin ya
robbal alamin.
Doktor Psikologi Sosial |
Swafoto bersama sebagian tim UB Akhirnya UGM |
Komentar