SEBUAH TEMPAT, SEJUTA CERITA (Hasil Observasi dan Wawancara di TPA Supit Urang Malang)

Tubuhnya telah keriput, namun semangatnya tetap menyala di tengah-tengah tumpukan sampah yang menggunung. Pemulung yang tengah menekuni pekerjaannya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Supit Urang selama 20 tahun itu bernama Endang. Awalnya TPA Supit Urang ini berasal dari Gadang, hingga dipindah ke Supit Urang ia tetap setia menjalani profesi pemulungnya. Endang rela bekerja untuk menghidupi keluarganya. Ia mempunyai rumah di jalan Mergosono gang 1. Dari penghasilannya memulung sampah ini, wanita yang tidak tamat SD ini bisa membiayai dua anaknya hingga tamat SMA. Sekarang, ke-2 anaknya telah menikah dan masing-masing memiliki 3 orang anak. Menurut pengakuan Endang, setiap harinya ia berangkat ke TPA dengan berjalan kaki atau jika kebetulan ada truk sampah yang lewat, ia menumpang di bak truk bersama rekan-rekan seprofesinya menuju TPA untuk memungut sampah. Berangkat dari rumah jam 7 pagi hingga pulang jam 3 sore, mengais sampah demi rupiah setia ia lakukan dari waktu ke waktu. Usia renta tak membatasi semangatnya. Ia berprinsip bahwa meskipun profesinya dianggap remeh oleh orang-orang sekitarnya asalkan pekerjaan tersebut halal dan tidak dilarang agama akan terus dilakukan.
Sampah-sampah yang dikumpulkan dari beberapa titik di kota Malang tersebut dikumpulkan jadi satu. Dari keterangan yang didapat, di lokasi TPA Urang Supit terdapat ratusan pemulung dari berbagai wilayah, tidak hanya dari lokal Malang tapi juga masyarakat dari luar kota Malang.
Sampah yang datang di TPA ini sangat beraneka ragam, mulai dari sampah logam, plastik, kertas dan sampah organik. Sampah yang dipunguti oleh para pemulung ini hanya sampah logam, kertas dan plastik yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi untuk dijual ke penampung yang akan mengirimkan ke pabrik daur ulang. Sampah plastik yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi adalah bekas botol atau gelas minuman mineral sejenis Aqua dengan nilai jual sekitar Rp. 1050/kg. Endang menuturkan pendapatan seharinya berkisar antara Rp 20.000,00 - Rp 40.000,00. Sedangkan sampah organik dibiarkan begitu saja membusuk sampai menjadi kompos. Namun ada juga sampah organik seperti kulit sapi yang dijemur di tengah-tengah tumpukan sampah, tutur Bu Endang nantinya kulit sapi itu akan dijadikan sebagai ‘cecek’ yang dikonsumsi oleh para pemulung sendiri. Di TPA Supit Urang terdapat tiga kolam bertingkat untuk menampung limbah cair sebelum dibuang ke sungai.

Peran pemulung di TPA ini sangat terasa, mereka yang secara langsung melakukan pemilahan sampah berdasarkan nilai ekonomisnya. Dengan demikian Pemkot Kota Malang tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk mengelola sampah yang jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan ton tiap minggunya.

Satu hal yang cukup menarik yaitu masalah kesehatan dari para pemulung. Mereka yang setiap harinya bergumul dengan tumpukan sampah yang menggunung pastilah mempunyai sistem pernapasan yang luar biasa dibandingkan dengan orang-orang normal lainnya. Walaupun begitu, jarang dari mereka yang mengalami gangguan dalam tubuh mereka seperti TBC, pes, sesak napas atau penyakit kulit. Bagi mereka dengan beraktivitas yang luar biasa berat tersebut, menjadikan tubuh mereka makin sehat dan cukup resisten terhadap penyakit. Malah jika tidak bekerja, mereka akan menjadi sakit dan merasa tidak produktif. Selain itu, kebanyakan dari mereka menjalani profesi ini lebih dari 5 tahun sehingga mereka telah beradaptasi dengan lingkungan yang ada di sini.

Kawasan bawah TPA Supit Urang adalah kawasan padat penduduk. Salah satu warga, Anto 35 tahun. Ia tinggal di kawasan bawah TPA bersama keluarganya yang terdiri dari mertua, istri dan seorang anaknya. Menurutnya, warga di kawasan ini kebanyakan warga laki-lakinya menjalani profesi sebagai pegawai di peternakan ayam yang ada di dekat kawasan itu. Bagi warga wanita, pelinting rokok adalah profesi yang banyak ditekuni. Hanya segelintir warga yang memilih untuk keluar dari kawasan itu dan menjalani hidup di luar kedua profesi di atas.

Komentar